Teman cerita, Apakah kalian sudah pernah berkunjung ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur? Pasti pernah, dong. Kedua candi itu merupakan objek wisata di Indonesia yang paling banyak dikunjungi turis lokal maupun mancanegara. Namun, sebelum menjadi objek wisata seperti sekarang, kira-kira apa fungsi bangunan candi di masa lalu, ya?Terkait bangunan candi, ada beberapa pendapat keliru yang beredar di masyarakat. Ada yang menganggap bahwa masyarakat membangun candi dalam rangka pemujaan berhala dan sebaiknya dihancurkan saja. Pendapat lainnya, candi didirikan oleh orang kaya dan kegunaanya hanya untuk kalangan mereka saja. Kemudian yang paling kontroversial adalah adanya pendapat bahwa Raja Sulaiman-lah yang membangun Candi Borobudur. Dari ketiga pendapat tersebut, kita tahu bahwa ada kekeliruan informasi yang beredar di masyarakat. Kali ini skalacerita akan menceritakan sedikit mengenai makna bangunan candi untuk teman Secara Umum Bangunan CandiTeman cerita, banyak orang yang menganggap candi adalah sebuah bangunan dari kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tentu itu tidak salah. Namun, candi-candi yang sekarang kita lihat memerlukan proses yang panjang sampai menjadi bangunan utuh kembali. Proses tersebut berupa penelitian, penggalian arkeologis, rekonstruksi, dan pemugaran. Beberapa bangunan candi memiliki catatan pembangunan dan fungsinya yang tertuang dalam sebuah prasasti. Bahkan, ada prasasti yang menyebutkan tujuan dan waktu pendirian saja prasasti Kelurak 704 Śaka yang isinya memperingati pendirian bangunan suci dan arca Manjusri, serta menyerukan penghormatan kepada Triratna oleh pendeta Kumaraghosa dari juga Prasasti Mañjusrigrha 714 Śaka yang menyebutkan adanya penyempurnaan prasada bernama wajrāsana Mañjusrigrha yang berarti rumah bagi Mañjusri sebagai salah satu Bodhisattva dalam ajaran Buddha Mahayana. Keberadaannya terkait dengan percandian Sewu dan Lumbung di Jawa Tengah. Namun, istilah candi sebenarnya memiliki makna mendalam dengan fungsi utama yang khas dalam proses pembangunan dan kegunaannyaBangunan Candi sebagai MakamSetelah banyaknya laporan mengenai tinggalan berupa bangunan terbuat dari batu yang hancur berserakan di tanah, usaha penelitian dan penggalian di situs Hindu Buddha banyak dilakukan. Serangkaian penyelidikan di beberapa situs Hindu-Buddha menemukan adanya tinggalan abu bekas sisa oleh Groneman di percandian Ijo dan Yjerman pada peripih gugusan candi Prambanan memberikan keterangan adanya tinggalan abu sisa pembakaran dan abu di dalam peripih yang terletak di dalam ruang candi. Berdasarkan penyelidikan, adanya abu di dalam bangunan memberikan dugaan bahwa itu adalah abu sarjana Belanda juga tetap mencari bukti-bukti lain dengan menilik dari beberapa istilah yang terdapat di dalam naskah seperti Pararaton dan Nagarakrtagama. Dalam kedua naskah tersebut menyebutkan istilah dharma’, sudharmma’, dan dhinarmanya’ yang berkaitan dengan raja dan pendharmaan bagi dan Groeneveld kemudian mengaitkan istilah tersebut dengan adanya sumber arca yang ditemukan di sekitar candi-candi Jawa Timur serta tradisi mendirikan arca untuk mengabadikan seorang raja sesuai dengan dewa yang dipuja dengan raut dan rupa sang adanya arca yang membawa identitas kedewaaan, Krom berpendapat bahwa ada dua fungsi dalam pembangunan candi. Pertama sebagai kuil pemujaan dan bangunan pemakaman bagi tokoh raja yang kemudian didharmakan dalam bentuk arca perwujudan sesuai dewa sebagai Bangunan SuciProf. R. Soekmono dalam disertasinya tahun 1974 yang berjudul, “Candi Fungsi dan Pengertiannya” merupakan arkeolog Indonesia pertama yang mengemukakan candi sebagai bangunan suci. Beliau memiliki banyak kesangsian mengenai bukti-bukti candi sebagai makam dan berpendapat bahwa candi merupakan bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat di sekitar bangunan candi tidak dapat membuktikan candi sebagai makam. Sementara itu, candi sebagai bangunan suci didukung oleh adanya beberapa prasasti yang menyebutkan pembangunan kuil-kuil pemujaan bagi dewa-dewi 141 Prasasti Kalasan sumber Museum NasionalPrasasti Kalasan yang berangka tahun 700 Śaka menyebutkan Tarabhavanam sebagai kuil pemujaan bagi Dewi Tara beserta arca untuk ditahtakan dalam kuil tersebut. Prasasti ini juga menyebutkan adanya pembangunan tempat tinggal bagi para Sangha berupa desa Kalasa dari Sewu sebagai rumah bagi Bodhisattva Mañjusri dokumentasi pribadiDua Prasasti lainnya yakni Prasasti Mañjusrigrha yang merujuk pada Candi Sewu ditujukan bagi Bodhisattva Mañjusri dan Prasasti Śivagrha yang merujuk gugusan candi Prambanan sebagai rumah bagi Dewa Śiva. Selain itu, keberadaan arca pada relung-relung candi yang memancarkan sifat keagamaan Hindu maupun Buddha juga memberikan informasi bahwa keberadaan candi sebagai bangunan suci yang berfungsi untuk kuil juga Sejarah Candi Prambanan yang Pernah Diruntuhkan WaktuPara Pembangun CandiPendirian bangunan pastinya memiliki aturannya sendiri. Begitu pula dengan pembangunan candi. Pembangunannya mengikuti kaidah dan aturan pembangunan kuil India yang bersumber dari teks Vasusastra, salah satunya kitab Manasara-Silpasastra. Menilik candi sebagai bangunan suci, maka tempat berdirinya candi haruslah sebagai tempat yang suci dan juga pada lahan di berbagai kitab Vasusastra, tanah yang cocok sebagai tempat berdirinya suatu kuil adalah tanah yang terisi dengan air selama satu malam masih menyisakan setengah airnya di keesokan hari. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa tanah tersebut tidak terlalu gembur namun tidak juga terlalu keras. Selain itu, lahan harus dekat dengan sumber air sebagai media pembasuhan dan pembersihan diri ketika akan melangsungkan upacara pembangunan candi terdapat beberapa ahli yang bertugas menentukan tempat dan letak candi, membuat perencanaan, hingga mendirikan candi. Ahli pembangunan candi tersebut, yaituSthapaka sebagai arsitek pendeta yang harus berasal dari golongan kaum Brahmanan. Mereka bertugas menentukan letak candi pada suatu halaman/lahan yang telah dianggap sebagai arsitek perencana yang bertugas merancang bentuk dan bangunan serta memegang peranan utama dalam adalah pelaksana teknis dalam pengerjaan pendirian bangunan,TakŚaka sebagai ahli dalam urusan adalah ahli urusan seniTakŚaka nantinya akan bekerja sama dengan Vardhakin dalam bagian seni untuk bangunan juga Beginilah Candi Dibangun dan Batu Candi Saling Direkatkan!Pemaknaan Bangunan Candi pada Masa KiniCandi pada masa kini memang tidak lagi memiliki fungsi yang sama seperti di masa lalu. Meskipun masih ada candi yang berfungsi sebagai tempat menjalankan ritual keagamaan pada hari-hari besar keagamaan. Akan tetapi, pemaknaan candi sebagai bangunan istimewa karya leluhur dari masa lalu sudah seharusnya memberikan kesadaran akan nilai sejarah dan nilai religius yang masih melekat pada bangunan teman cerita sedang berkunjung ke candi, selain asyik mengambil gambar jangan lupa juga untuk menikmati karya leluhur yang tiada duanya itu, ya. Ada banyak yang bisa kita pelajari seperti nilai etika, moral, dan aspek religius ajaran Hindu dan Buddha yang terbalut dalam kemegahan dan keindahan bangunan juga Lima Rekomendasi Situs Arkeologi di Indonesia yang Wajib Dikunjungi Versi Skala Cerita!ReferensiAcharya, Prasanna Kumar. 1993. Indian Architecture according to Mānasāra-Silpaśāstra. Volume I, IV. Oxford University PressBoechari. 1974. Candi dan Lingkungannya. Jakarta Dimuat dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1977 di 2012. Melacak Sejarah Kuna Indonesia Lewat Data Prasasti. Jakarta Kepustakaan Populer Hariani. 1995. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia Abad VIII-XV Masehi Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik. Pidato pada upacara pengukuhan Guru Besar Madya Tetap pada FSUI. Depok, 9 Desember R. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta Fakultas Sastra Universitas Indonesia-Disertasi.Relief Contoh Relief. 1. Candi. Candi Prambanan. Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa. Dalam agama Hindu, kata candi berasal dari kata "candika " yaitu salah satu nama dari dewi Durga (dewi maut). Sebagai umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan kita menghadaf ke arah bangunan yang disebut dengan padmasana, yaitu simbol tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi dihadapan uiriat-Nya. Bangunan Padmasana berbentuk seperti tugu, bagian bawah terdapat hiasan kura-kura yang dililit oleh 2 ekor naga, di bagian tengah dihias dengan ukir-ukiran yang milah dan seringkaii dilengkapi dengan arca-arca di setiap sudutnya. Sedangkan - di bagian atas berbentuk kursi dengan bagian sandaran tangannya dihias dengan 2 ekor naga. Dari sisi sejarah, agama Hindu dan Budha juga pernah berkembang dan menjadi agama bangsa Indonesia pada abad IV-XV. Bukti keberadaan agama Hindu dan Budha di Indonesia ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi, prasasti, arca batu, arca perunggu, alat-alat upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini bangunan' candi merupakan tempat peribadatan umat Hindu dan Budha pada masa itu. Bangunan candi tersusun dari batu andesit, batu putih, atau batu bata. Di dalam tubuh candi terdapat bilik yang sempit, tempat arca dewa atau lingga-yoni ditempatkan. Bila kita perhatikan bentuk arsitektur candi dengan arca dewa atau lingga-yoni di dalam biliknya sebagai obyek pemujaan, maka akan kita temui perbedaan yang sangat menyolok dengan bentuk padmasana pada masa kini. Tentu ada mata rantai sejarah perkembangannya sejak mulai dari berbentuk candi hingga sampai ke bentuk padmasana ini? Istilah candi berasal dari bahasa Sansekerta candika grha. Candiku adalah salah satu dari nama-nama Dewi Durga dalam wujudnya sebagai Dewi Maut, sedangkan grha berarti rumah atau kuil. Jadi candika grha berarti kuil Dewi Durga. Meskipun demikian dalam kenyataannya tidak ada satu pun candi di Indonesia yang benar-benar hanya diperuntukkan bagi Dewi Durga. Bahkan istilah Candi juga digunakan untuk semua tempat bangunan peninggalan peribadatan agama Hindu maupun Budha. Perbedaannya adalah, candi-candi Hindu berisi lingga-yoni atau arca-arca dewa Hindu, sedangkan candi-candi Budha berisikan arca Sang Budha. Arca Dewa Siwa, Dewa Agastya Siwa Mahaguru, dan Dewa Ganesha. Komposisi ini dapat kita lihat pada candi induk Komplek Candi Pram-banan, di mana Arca Dewa Siwa^ terdapat pada bilik utama, Dewi Durga pada bilik sisi utara, Dewa Agastya pada sisi selatan, dan Dewa Ganesha pada sisi barat. Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha, Bangsa Indonesia telah mengenal kepercayaan asli, yaitu pemujaan kepada roh nenek moyang. Sarana untuk pemujaan kepada roh nenek moyang adalah dengan menggunakan batu-batu besar yang disusun membentuk komposisi tertentu, sehingga jaman ini dikenal dengan tradisi megalitik atau tradisi batu besar mega besar, litluk. batu. Benda-benda peninggalan jaman megalitik antara lain adalah batu menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, dan punden berundak. Di dalam tradisi megalitik terdapat kepercayaan bahwa roh nenek moyang bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, seperti pegunungan, dataran tinggi, dan bukit-bukit. Hal ini menyebabkan bangunan-bangunan dari jaman megalitik, khususnya punden berundak, terletak di tempat yang tinggi. Denah halaman bangunan punden berundak tersusun ke belakang dengan kedudukan semakin ke belakang semakin tinggi. Halaman paling belakang dianggap yang paling suci karena letaknya paling dekat dengan puncak gunung, pegunungan, atau bukit. Tradisi megalitik Bangsa Indonesia pada saat itu masih berada dalam jaman prasejarah karena belum mengenal tulisan. Jaman prasejarah di Indonesia berakhir setelah masuknya pengaruh kebudayaan India pada sekitar awal abad IV masehi. Dengan masuknya pengaruh India, kebudayaan bangsa Indonesia mulai mengalami perubahan besar, yaitu mulai mengenal tulisan, timbulnya sistem pemerintahan kerajaan, serta mengenal sistem keagamaan yang baru. Sistem keagamaan baru yang berasal dari India itu adalah agama Hindu dan Budha. Awal masuknya jaman sejarah di Indonesia ditandai dengan ditemukannya 7 buah Prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, yang berasal dari abad IV Masehi, yang menyebutkan adanya Kerajaan Kutai. Di samping itu di Jawa Barat ditemukan beberapa buah prasasti, antara lain Prasasti Kebon Kopi, Pasir Awi, Jambu, Ganten, Tugu, Lebak, dan Muara Cianten yang berasal dari abad IV - V Masehi yang menyebutkan adanya Kerajaan Tarumanegara. Dari kedua kerajaan tersebut belum ditemukan peninggalan yang baerupa bangunan candi Peninggalan bangunan candi baru muncul pada masa Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera, sekitar abad VII-VIII Masehi. Setelah agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, Bangsa Indonesia mulai mengenal pemujaan kepada dewa-dewa Hindu, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga dan sebagainya. Tradisi pemujaan kepada dewa-dewa yang berasal dari India tersebut diwujudkan dalam bentuk arca-arca dewa dari batu atau batu-bata, yaitu bangunan yang sekarang kita sebut sebagai candi. Arca-arca dewa di dalam bilik candi diwujudkan dalam posisi berdiri atau duduk di atas lapik batu berbentuk bunga teratai yang disebut padmasana. Padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai dan asana yang berarti tempat duduk. Jadi padmasana di dalam konteks bangunan candi berarti adalah tempat duduk berbentuk bunga teratai. Berdasarkan temuan arkeologis di Indonesia, dewa utama yang paling sering diarcakan di dalam candi adalah Dewa Siwa. Sedangkan dewa-dewa lainnya, seperti Dewa Wisnu, Brahma, Durga, dan Agastya Siwa Mahaguru tidak dicandikan tersendiri, melainkan merupakan bagian dari komplek percandian yang melengkapi keberadaan Dewa Siwa. Hal ini memperkuat pendapat bahwa aliran Hindu yang masuk ke Indonesia adalah aliran Siwaistis atau Siwasidhanta. Di samping candi-candi yang berisikan arca dewa, terdapat juga candi-candi yang berisikan lingga-yoni, yang merupakan lambang penyatuan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. lingga adalah batu berbentuk silindris menyerupai alat kelamin laki-laki, dipasangkan secara vertikal di atas yoni. Sedangkan yoni berbentuk segi empat dan bagian atasnya datar dengan sebuah cerat pada salah satu sisinya yang menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam hal ini lingga merupakan lambang unsur laki-laki dan yoni merupakan lambang unsur perempuan, sehingga penyatuan keduanya menghasilkan kesuburan. Di samping itu lingga juga merupakan lambang dari penyatuan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bentuk lingga ini terdiri dari 3 bagian, paling bawah berbentuk segi empat, lambang Brahma; bagian tengah berbentuk segi delapan lambang Wisnu; dan bagian atas berbentuk bulat, lambang Siwa. Candi-candi Hindu yang mula-mula berkembang di Indonesia menunjukkan perpaduan tradisi megalitik dengan pengaruh budaya India, yaitu bahwa tidak hanya roh nenek moyang, tetapi dewa-dewa juga bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, sehingga candi-candi tersebut dibangun di dataran daerah dataran tinggi atau pegunungan. Misalnya komplek Candi Gedongsongo di kaki Gunung Ungaran dan Komplek Candi Dieng di dataran tinggi Dieng. Candi-candi ini tidak memiliki denah halaman yang jelas, dan terletak saling berpencar satu sama lain. Dalam hal ini tampak perpaduan konsep antara India dan Indonesia, yaitu bahwa bangsa Indonesia sudah menggunakan arca dewa sebagai pusat orientasi pemujaan, namun juga masih menggunakan orientasi gunung sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa tersebut. Candi-candi dengan pola tersebaran di pegunungan ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian utara, sehingga para ahli arkeologi menyebutnya Periode Jawa Tengah bagian Utara. Pada pertengahan masa Kerajaan Mataram Kuno, pengaruh India semakin menguat. Pusat orientasi pemujaan sudah tidak lagi mengarah ke gunung, tetapi pada arca-acra dewa di dalam bilik dewa dianggap sebagai pusat kosmis dan pusat orientasi pemujaan, sehingga komplek candi yang dibangun pada masa itu mempunyai denah berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang dengan pola memusat, yaitu- halaman yang dianggap paling suci terletak di tengah. Pusat orientasi pemujaan ada candi induk yang berada di halaman pusatnya, misalnya Komplek Candi Plaosan Lor, dan Komplek Candi Ngawen. Pembangunan komplek percandian juga harus didasarkan pada aturan-aturan dalam kitab Vastupurusamandala vastu situs, tempat; purusa segala hakekat/jiwa dari alam semesta; dan mandala wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala berarti suatu wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala terlihat pada ketepatan garis diagonal halaman serta kesejajaran penyusunan candi-candi perwara yang mengelilingi candi induknya. Di samping itu berdasarkan perhitungan arah menurut kompas, arah hadap candi juga benar-benar persis menghadap ke timur. Candi-candi dengan pola memusat pada masa Mataram Hindu ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian selatan, sehingga lazim disebut Periode Jawa Tengah bagian Selatan. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, tampaknya perbedaan ajaran antara agama Budha dan Hindu tidak terlalu dipermasalahkan oleh pemeluknya sendiri. Hal ini tampak pada banyaknya candi Hindu dan Budha yang terletak saling berdekatan satu sama lain di daerah Prambanan, seperti Candi Sambisari, Prambanan, Barong, dan Ijo berorientasi pada arah timur-barat, tetapi berubah menjadi membelakangi gunung. Perubahan dari denah konsentris menjadi denah tersusun ke belakang ini mulai tampak pada Candi Jago di Malang. Candi ini memiliki 3 tingkatan kaki candi. Tingkat ketiga dan bagian tubuh candi terletak pada bagian paling belakang. Hal ini menunjukkan munculnya kembali konsep-konsep pada bangunan prasejarah, yaitu punden berundak dan pemujaan roh nenek moyang. Munculnya kembali tradisi pemujaan roh nenek moyang menyebabkan praktik agama Hindu dan Budha pada waktu itu sedikit demisedikit mulai menyatu dan mulai tidak dibedakan lagi oleh para pemeluknya. Penyatuan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ini ditandai dengan beberapa orang raja yang setelah meninggal dicandikan dibuatkan candi sebagai tempat pemujaan kepadanya, di dua tempat, yaitu sebagai Siwa Hindu dan Buddha. Raja-raja yang dicandikan baik sebagai Siwa maupun Budha adalah Ken Arok Rajasanegara, Kertanegara, Raden Wijaya Kertarajasa, Jayanegara, dan sebagainya. Sehingga dalam masa-masa selanjutnya antara agama Hindu dan Budha sudah tidak dapat dikatakan sebagai agama yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sudah menjadi satu kesatuan yang disebut Siwa-Budha. Di samping denah bangunan candi kembali ke konsep punden berundak, arca-arca di dalam bilik candi pun mulai menyimpang dari kaidah pembuatan arca dewa di India. Bila arca di candi-candi periode Jawa Tengah bagian selatan dibuat sedemikian realistis agar tampak hidup, maka arca-arca dewa di dalam bilik candi di Jawa Timur tampak kaku menyerupai mummi atau mayat. Menurut para ahli ahli arkeologi, wajah dewa atau dewi di dalam candi tidak sama dengan wajah dewa sebagaimana yang digambarkan pada periode Jawa Tengah karena cenderung dibuat mirip dengan wajah raja atau ratu yang telah meninggal, Arca-arca di dalam bilik candi bukan lagi semata-mata sebagai arca dewa, melainkan sebagai wujud roh nenek moyang yang telah menjadi satu dengan dewa-dewa, yang diwakili oleh sosok seroang raja/ratu yang telah mangkat. Pada saat itu mulai berlaku konsep dewa raja, yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat peringatan berupa bangunan candi dengan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/ dewi di dalamnya. Seperti Mahendradata Gunapriyadharmapatni yang diwujudkan sebagai Dewi Durga di Gianyar, Bali; Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu yang naik Garuda di Candi Belahan, Mojokerto; Ken Dedes permaisuri Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari yang diwujudkan sebagai Dewi Prajna-paramitha, Kertanegara yang diwujudkan sebagai Aksobhya, dan sebagainya. Dengan demikian kepercayaan kepada dewa-dewi dalam agama Hindu dan Budha yang berkembang menjelang abad XV bersinkretis dengan konsep pemujaan roh leluhur dari tradisi megalitik, sehingga memunculkan aliran baru yang merupakan perpaduan antara agama asli Bangsa Indonesia yang berorientasi pada pemujaan roh leluhur dengan agama Hindu-Budha yang berorientasi pada pemujaan dewa-dewa kosmis. Pembuatan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/dewi di dalam bilik candi pada masa Jawa Timur bukanlah adat kebiasaan agama Hindu dan Budha untuk memudahkan pengertian, selanjutnya disebut agama Hindu saja yang berasal dari India. Sebaliknya upacara-upacara pemujaan kepada raja/ratu yang telah meninggal itu merupakan adat kebiasaan Indonesia yang diberi bentuk kehinduan sebagai usaha meningkatkan pengertiannya agar sesuai dengan keadaan yang telah berubah karena pengaruh Hindu. Maka dasar upacaranya tetap bersifat Indonesia, sedangkan dari segi agama Hindu tidak bertentangan konsep ajarannya yang bersifa-t Hinduistis dan Candi Sewu, Kalasan, Sari, Sofogedug, Sojiwan, dan Plaosan yang bersifat Budhistis. Bahkan candi Hindu dan Budha yang terbesar, yaitu Komplek Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Komplek Candi Sewu yang bersifat Budha didirikan berdampingan. Masih pada masa Kerajaan Mataram Hindu, pada masa yang lebih kemudian antara kedua agama tersebut terjadi pemaduan unsur-unsur kebiasaan di kalangan penganutnya. Hal ini mulai tampak pada Komplek Candi Plaosan Lor, di mana arca-arca di dalam candi induknya bersifat Budha, tetapi atribut-atribut yang dikenakannya sudah mulai bercampur dengan unsur-unsur Hindu. Demikian pula dengan candi perwaranya. Di Kompleks Candi Plaosan Lor, sebagian besar candi perwara-nya mempunyai atap berbentuk stupa, tetapi, terdapat pula candi-candi perwara yang mempunyai atap berbentuk ratna yang merupakan ciri khas candi yang bersifat Hindu. Pada abad X pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu dipindahkan ke Jawa Timur dan berakhir pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Setelah Kerajaan Mataram hindu runtuh dan kemudian secara berturut-turut digantikan oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Kediri, Daha, Singosari, dan Majapahit. Di Jawa Timur candi-candi mulai dibangun dengan ketentuan yang menyimpang dari konsep Vastupurusamandala. Bila candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan semula berdenah konsentris dengan halaman paling dalam adalah yang paling suci, maka pada periode Jawa Timur, denah candi berubah menjadi tersusun ke belakang kembali, yang mana halaman paling belakang merupakan bagian yang paling suci. Arah hadap candi juga tidak lagi seiring dengan perkembangan jaman, sejak, melemahnya Kerajaaak Majapahit menjelang akhir abad XVI agama Islam mulai menggantikan posisi agama Hindu di Jawa. Pemeluk Hindu semakin terpinggirkan dari tanah Jawa dan hanya bertahan di Bali. Sejak itu candi-candi di Jawa menjadi rusak dan terbengkalai karena boleh dikatakan sudah tidak ada lagi penganutnya. Suatu hal yang barangkali menjadi aneh bagi kita adalah, mengapa di Bali tradisi menggunakan bangunan candi sebagai tempat pemujaan menjadi hilang, walaupun di Bali sendiri memiliki banyak peninggalan bangunan candi, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Tebing Tegallingga, Candi Stupa Pegulingan, dan sebagainya. Di Bali mungkin kita sudah tidak menemukan lagi bangunan candi yang masih digunakan sebagai tempat pemujaan. Sebagai gantinya kita bersembahyang di dalam pura yang di dalamnya terdapat berbagai macam bangunan seperti padmasana, meru, prasada, atau pelinggih-pelinggih lainnya. Namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bangunan pura dengan komplek percandian pada Periode Jawa Timur, yaitu dari denah halamannya yang tersusun ke belakang. Di dalam halaman utama mandala, kita memang sudah tidak menemukan bangunan candi lagi, namun di sana akan menjumpai bangunan berbentuk meru atau prasada. Meru adalah bangunan yang terbuat dari kayu dengan atap dari ijuk berbentuk semacam payung segi empat yang bertingkat-tingkat. Sedangkan prasada adalah bangunan pejal yang terbuat dari batubata, namun beratap ijuk atau kayu. Atapnya tidak bertingkat-tingkat seperti halnya meru. Keduanya memiliki persamaan dengan candi, yaitu terdapat rongga bilik di dalamnya. Namun di dalam bilik tersebut tidak terdapat arca dewa atau lingga yoni. Sebagai gantinya, di dalamnya terdapat benda-benda suci yang merupakan wakil dari dewa atau leluhur yang disthanakan seperti pratima, peripih, atau pedagingan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukan tradisi pemujaan kepada dewa atau roh leluhurnya yang berakhir, tetapi tradisi membuat bangunan candinya-lah yang berakhir. Tradisi membuat bangunan candi digantingan dengan membuat bangunan berbilik dari kayu yang disebut dengan meru atau dari batu bata yang disebut dengan prasada. Konsep dasar pemujaan kepada dewa atau roh leluhur itu sendiri tetap tidak berubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi pada masa lampau di Bali telah berubah menjadi meru dan prasada. Peralihan dari bentuk candi ke bentuk meru sebenarnya sudah mulai tampak pada Komplek Candi Panataran di Blitar, yang dibangun sekitar abad XIV, yaitu pada candi induknya yang hanya terdiri dari bagian kaki, tanpa tubuh dan atap. Bagian tubuh dan atapnya sudah tidak ada, namun juga tidak ditemukan sisa-sisa dinding bangunannya. Di samping itu di bagian lantai kaki candi tersebut terdapat beberapa umpak yang menunjukkan bahwa dahulu terdapat tiang atau atap yang terbuat dari kayu. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk-bentuk candi dari masa Hindu-Budha di Bali sudah berubah menjadi meru dan prasada. Yang menjadi pertanyaan kembali adalah, bagaimana dengan sejarah timbulnya padmasana seperti yang kita kenal sekarang? Sebagaimana telah dijelaskan di atas, padmasana semula adalah sebagai tempat duduk atau berdirinya arca dewa di dalam bilik bangunan candi di Jawa. Semenjak kedatangan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali pada akhir abad XVI, penggunaan arca-arca dewa mulai dihilangkan. Hal ini dikarenakan sejak kedatangan Dang Hyang Nirartha, arca-arca perwujudan dewa diganti dengan wujud banten, misalnya ajuman, daksina, canangsari, tumpeng, dan lain-lain. Mungkin pula tradisi ini timbul sebagai akibat dari kedatangan agama lain, khususnya di Jawa, yang secara ekstrim menentang dan berusaha menghancurkan segala bentuk pemujaan yang menggunakan media arca. Agar tidak kehilangan makna dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, maka media arca ini diganti dalam bentuk banten yang sifatnya sementara. Dalam perkembangannya, untuk meletakkan banten ini, dibuatlah pelinggih-pelinggih, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Pelinggih yang bersifat permanen dibuat dalam bentuk seperti tugu dengan singgasana di atasnya, yang sekarang kita sebut dengan padmasana ini. Tentunya akan timbul pertanyaan bahwa mengapa bentuk padmasana yang kita kenal sekarang ini berbeda jauh dengan bentuk padmasana pada tempat duduk/berdiri arca di dalam bilik candi? Di dalam agama Hindu, Sang Hyang Widhi merupakan penguasa atas Tribhuwana, yaitu alam bhur, bwah, dan swah. Oleh karena itu untuk menggambarkan Kemahakuasaan Beliau diwujudkanlah bentuk bangunan seperti tugu yang menggambarkan ketiga dunia ini. Lalu mengapa disebut dengan padmasana? Mungkin istilah ini berasal dari pesimpenan Pancadatu atau pedagingan yang ditanam, baik di dasar, di tengah, maupun di atas bangunan tersebut. Di Bali banten pedagingan diletakkan di atas alas banten yang disebut lamak, yang terbuat dari daun enau. Lamak itu sendiri merupakan perwujudan dari bunga teratai atau padma. Pedagingan di puncak bangunan disebut dengan padma mas. Disebut dengan padma mas ini tidak tampak dari luar karena ditanam di dalam singgasana padmasana yang berbentuk persegi empat. Karena padma mas ini terletak di dalam singgasana yang merupakan tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi Wasa, maka keseluruhan bangunan ini disebut dengan padmasana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi tetap berlanjut dalam bentuk pembuatan meru dan prasada. Sedangkan padmasana muncul sebagai perkembangan dari bentuk pelinggih yang bersifat permanen, yaitu untuk memuja Sang Hyang Widhi yang kehadiran-Nya diwujudkan dalam bentuk banten. Source Budiana Setiawan l Warta Hindu Dharma NO. 437 Juli 2003 jawabanyang benar adalah d. punden berundak Untuk lebih jelasnya, yuk simak penjelasan berikut. Punden dalam bahasa Jawa artinya orang yang dimuliakan sehingga punden berundak adalah bangunan suci yang bentuknya bertingkat-tingkat atau berundak-undak. Pada mulanya punden berundak digunakan sebagai tempat pemujaan leluhur.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Oleh Davit YuliyantoIndonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-75, momen kemerdekaan ini dimanfaatkan pemerintah untuk kembali mengingatkan kepada masyarakat tentang jargon 'Indonesia Maju' yang diharapkan dapat dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara maju pada 2045. Jika kita menarik mundur pada era klasik tepatnya pada abad 7,8 dan 9, Indonesia yang pada saat itu masih bernama Nusantara menjadi salah satu 'negara' maju dibidang Arsitektur/Bangunan. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai bangunan - bangunan besar yang dibangun oleh kerajaan - kerajaan Hindu dan Budha yang kita kenal dengan candi. Fenomena hadirnya candi di Indonesia menegaskan peran arsitek dalam membangun Candi yang begitu megah bahkan menjulang tinggi. Jika kita membicarakan candi di Indonesia, pasti tidak jauh dari Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai "world heritage". Kedua candi ini adalah bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki teknologi yang sangat maju terutama dibidang arsitektur. Hadirnya Candi Prambanan masih sering dihubungkan dengan cerita rakyat tentang kisah Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam satu malam untuk syarat pernikahan dengan Roro Jonggrang. Namun seperti cerita rakyat pada umumnya, kisah ini hanyalah sebuah dongeng semata dari mulut ke mulut yang kebenarannya masih belum bisa dibuktikan. Candi Prambanan didirikan oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya kurang lebih 856 M Sumartono, 2009 45 yang dipersembahkan untuk Trimurti yang berarti 3 dewa utama, yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah yang juga menjadi dewa utama di Candi ini menjelaskan bagaimana teknologi pembangunan serta gaya arsitektur yang hadir di Candi Prambanan dan Borobudur menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah mempunyai pengetahuan yang sangat maju dalam menciptakan sebuah bangunan monumental. Selain itu, pembangunan candi - candi besar seperti Sewu, Borobudur, dan Prambanan terjadi hampir diwaktu yang bersamaan, dalam hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan dilakukan oleh ratusan bahkan ribuan tenaga kerja yang memiliki skill dan manajerial proyek yang sangat pembangunan Candi Prambanan tentu dibutuhkan transformasi teknologi, khususnya perubahan dari candi-candi kecil ke candi-candi besar, di zaman itu abad 7,8,9 tentunya belum ada alat - alat seperti crane untuk membangun bangunan tinggi, tetapi para leluhur bangsa Indonesia sudah bisa mendirikan bangunan yang berbentuk menara setinggi 47 meter atau setara gedung 10 lantai. Candi utama Prambanan yang dikhususkan dewa Siwa dengan tinggi 47 Meter SHUTTERSTOCK/WINDU_DOLAN Hadirnya buku ini juga ingin mengungkapkan bahwa bangunan Candi di Indonesia tidak hanya dapat dinilai pada sisi Arkeologis saja, tetapi juga dari sisi Arsitektural baik kerangka dasar bangunan, kerangka tengah, kemuncak diatas, dan berbagai ornament - ornament lainya. Hal itu mengindikasikan candi sama seperti bangunan lain pada umumnya, sehingga tidak bisa dinilai dari sisi statis tetapi juga bisa dinilai dari sisi dinamis. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya
Kelebihanjasa arsitek dari ara sipil dan arsitektur adalah kami memiliki keahlian dan pengalaman yang baik. Kemampuan dalam menghasilkan rancangan arsitektur yang. Source: arsitektur.ums.ac.id. Bagi kamu yang berjiwa kreatif dan ingin menjadi seorang pemimpin, arsitek adalah salah satu opsi karier yang cocok untuk dipilih.Senibangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah - 3822717 amirachuamid19 amirachuamid19 08.10.2015 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab • terverifikasi oleh ahli Seni bangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi Jarak Kota A dan B adalah 80 km,3 poinsedangkan jarak pada peta adalah 8cm. Skala pada peta
Menurut Acharya 1980, berdasarkan dari kitab Manasara Silpasastra Kitab agama Hindu yang menjelaskan mengenai seni dan tata cara pembuatan bangunan Hindu, tata cara pembuatan candi terdiri dari beberapa tahapan. Tanah untuk candi dipilih jenis tanah yang baik berdasarkan warna, bau, kelandaian, jenis tanaman, kandungan tanah yang subur. Pendirian bangunan suci sebaiknya dekat dengan air tirtha baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua sungai, danau, laut dan walaupu tidak ada harus dibuatkan kolam buatan halaman kuil, atau diletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci bangunan suci candi didirikan di puncak bukit, lereng bukit, lembah atau hutan. Tindakan selanjutnya adalah mencari titik pusat halaman dengan menggunakan sebatang sangkhu yaitu sebatang kayu yang dibuat khusus. Setelah itu dicari keempat mata angin serta arah keempat penjuru lainnya Santiko,1995,keempat arah mata angin ini terkait dengan 57 kedudukan Brahman sebagai purusa dan membentuk diagram. Kemudian menggambar diagram tersebut di atas tanah. Diagram yang terkenal adalah Vastu-purusamandala, diagram Vastu-purusamandala berbentuk bujursangkar dan dibagi menjadi kotak-kotak kecil. Jumlah kotak-kotak kecil berbeda-beda tergantung jenis bangunan suci yang akan didirikan Santiko,1995. Menurut Acharya 1981, Bentuk rumah yang terbaik untuk dewa dan para brahmana adalah bujur sangkar, yaitu bentuk dasar dalam arsitektur India. Disebutkan pula bahwa bentuk terbaik berikutnya adalah persegi panjang dengan catatan,panjangnya tidak boleh melebihi dua kali lebarnya. Bentuk ini mengacu pada figur Vastu Purusha Mandala dan menjadi bentuk umum untuk candi. Bangunan candi sendiri harus menghadap ke timur, yang merupakan arah yang paling menguntungkan karena merupakan arah datangnya cahaya matahari. Dari timur matahari muncul menghalau kegelapan, memberi kehidupan, pembawa kebahagiaan. Vastu shastra menyatakan bahwa bangunan yang proporsi dan orientasinya salah akan menciptakan suasana yang kondusif untuk datangnya penyakit, kerusakan dan kematian. Titik pusat bangunan yang tertutup diterapkan pada kuil-kuil dan candi Hindu, dimana di atas titik pusat titik suci terdapat bentuk atap berbentuk meru yang disebut Wimana untuk puncak candi atau kuil. Dari puncak berbentuk meru yang disebut Wimana itulah cahaya dewata masuk ke dalam bangunan. 58 Bagian-Bagian Bangunan Candi Umumnya folosofi sebuah bangunan candi mengikuti pola pemikiran bahwa bangunan merupakan replika dari alam semesta. Menurut Atmadi 1979, candi dibangun dengan konsep ajaran Hindu yaitu Mandala Mikrokosmos alam semesta, yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu 1. Bhurloka Kamadhatu/ kaki candi Bagian terbawah dari sebuah candi beserta lapangan sekeliling candi dimana candi tersebut berdiri, yang melambangkan dunia keinginan atau hasrat tempat dimana terdapat makhluk hidup yang biasa kita temui. 2. Bhuvarloka Rupadhatu/ badan candi Bagian tengah dari susunan bangunan candi, yaitu dunia tengah yang ditempati oleh orang-orang suci seperto Resi seseorang suci yang mendapatkan wahyu dari agama Hindu. 3. Svarloka Arupadhatu/ atap candi Bagian atas atau atap candi yang melambangkan tempat tertinggi dan tersuci yang didiami oleh dewa-dewi dengan kedudukan teratas. 59 Arsitektur Candi Hindu di Jawa Soetarno 1986, seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, tetapi berdasarkan ciri-cirinya candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan. Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan Gambar Struktur Candi Tampak Samping Sumber Djoko, 1983 60 beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur. Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana Hindu-Buddha, sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha. Menurut Soetarno 1986, ciri-ciri candi langgam Jawa Tengah adalah bentuk bangunanny tambun, atapnya berundak-undak, puncaknya berbentuk stupa, gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara, 61 reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, letak candi di tengah halaman, kebanyakan menghadap ke timur dan terbuat dari batu andesit. Candi langgam Jawa Timur memiliki ciri-ciri bentuk bangunannya ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di bagian belakang halaman, kebanyakan menghadap ke barat dan terbuat dari bata. Senibangunan Indonesia yg menjadi acuan dalam pembangunan candi adalah. Question from @5504 - Sekolah Menengah Pertama - Ips. Search. Articles Register ; Sign In . 5504 @5504. January 2019 2 15 Report. Seni bangunan Indonesia yg menjadi acuan dalam pembangunan candi adalah stefani29 Candi borobudur maaf kalo salah ya. 0 votes Thanks 0